Ardhi Saja

Jumat, 06 April 2012

"Susahnya keluar dari Jendela"

Post views: counter
Tulisan ini berawal dari renungan saya yang tiba-tiba. Seringkali saya mendengar dari seseorang yang bila ditawari untuk beralih untuk menggunakan linux sebagai sistem operasi di pc/laptopnya, maka dia akan mengatakan :
1. "ah...linux ribet....ga familier...."
2. "males ah...(karena) harus belajar lagi...."
3. "nanti dokumen-dokumen yang diketik di W*n*o*s" ga bisa di baca di linux..."
4. "itu kan untuk orang yang jago komputer...."
5. "soalnya dikantor saya kan semuanya pake W*n*o*s....."
dan ungkapan-ungkapan lainnya yang intinya menyatakan keengganan dirinya untuk beralih ke Linux.

Nah,..suatu ketika muncul dipikiran saya, bahwa ternyata kalau seseorang, terutamanya usia remaja sampai 45 tahun (ini hanya perkiraan saya), akan senang bila mendapatkan handphone era sekarang. Yang saya maksud adalah handphone yang "bertipe" TAB, yang umumnya memiliki sistem operasi tertentu seperti Android, dll. Sebagai konsekuensi perasaan senangnya, maka orang tersebut akan menggunakan perangkat selular tersebut untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Coba perhatikan, dari senang lalu kok tiba2 langsung menggunakan. Ada yang kurang? Permisalan lagi : Andaikan anda tidak bisa menyetir mobil, lalu tiba-tiba anda mendapat hadiah berupa sebuah mobil. Apakah anda tidak ingin untuk belajar menyetir, sehingga anda dapat menyetir sendiri mobil anda? Umumnya anda akan belajar menyetir sehingga mobil baru anda dapat anda fungsikan sebagaimana mestinya. Nah begitu juga dengan perangkat selular canggih tadi. Saya yakin kebanyakan orang bila pertama kali disodori perangkat tersebut akan bingung dan kesulitan untuk mengoperasikan semua fitur2 yang disediakan oleh perangkat tersebut. Tetapi apa yang lazim dilakukan oleh kebanyakan orang? Umumnya mereka akan menyediakan waktunya (meskipun tidak disadari), untuk mempelajari secara otodidak pengoperasian perangkat selular tersebut. Terkadang kalau kita melihat orang tersebut, dari pertama punya sampai 3 hari berikutnya terlihat sibuk menekan-nekan layar kaca di perangkat tersebut. Entah sedang apa, tetapi yang jelas sepertinya sangat mengasikkan bagi orang tersebut. Dengan usaha kerasnya itulah maka dalam hitungan 3 hari dia sudah menguasai pengaturan dan pengoperasian perangkat selular tersebut.

Mari kita kembali ke topik di paragraf awal. Menurut saya, penggunaan pc/laptop ber"Linux" sama saja dengan penggunaan perangkat selular tadi. Sama dalam hal "belum pernah menggunakan sebelumnya" dan "belum familier"nya. Sehingga menurut tinjauan ini, bagi saya gugur sudah alasan 1, 2 dan 4 dalam paragraf awal. Jadi dengan usaha yang tidak ada bedanya dengan contoh perangkat selular tadi, maka dalam beberapa hari saja orang sudah dapat mengoperasikan Linux untuk keperluan sehari-hari.

Sebagai tambahan, saya ceritakan sedikit pengalaman saya. Teman saya tahu bahwa saya pengguna Linux 100%, maksudnya tidak menginstal sistem operasi lain dilaptop saya selain Linux. Kemudian karena saya mendapatkan laptop baru, maka laptop lama digunakan oleh istri saya di rumah. Lalu teman saya bertanya: Jadi, laptop mu yang dirumah di install W*n*o*s? Dia bertanya begitu karena dia beranggapan jika tidak di install W*n*o*s maka laptop itu tidak dapat digunakan oleh istri saya. Justru saya malah kaget dengan pertanyaan itu. Dalam benak saya, "apa susahnya sih sekedar mengoperasikan Linux"? Kalo cuma ngetik, nge-net, nge-print, nyetel mp3, nyetel video di Linux, apa susahnya? Saya tidak pernah secara khusus mengajari istri saya, apalagi sampai mengkursuskan, untuk dapat mengoperasikan Linux. Nyatanya ya istri saya bisa mengoperasikan seperti biasa.

Pengguna komputer dapat saya kategorikan dalam dua tipe, yakni:
1. Pengguna yang semata-mata hanya sekedar mengoperasikan, tanpa bisa menangani masalah yang muncul.
2. Pengguna yang mampu menangani masalah dari yang ringan sampai berat.

Menurut saya, kebanyakan orang adalah masuk dalam tipe 1. Seandainya masuk tipe 2, kebanyakan hanya mampu menangani masalah ringan. Jadi bagi orang tipe 1, mereka akan meminta bantuan orang lain untuk menangani masalah yang dialaminya. Jadi untuk tipe 1, menurut saya sama saja ketika dia mengoperasikan W*n*o*s ataupun Linux, mereka akan minta bantuan orang lain untuk mengatasi masalah yang dialaminya. Lalu apa lagi yang dikhawatirkan ketika mengoperasikan Linux?Toh jika W*n*o*s yang mereka gunakan, mereka juga akan meminta bantuan orang lain?

Nah bagi orang yang masuk dalam tipe 2, sepertinya sedikit yang tidak mau beralih ke Linux. Di antara mereka ada yang memang sudah dibekali dengan pengetahuan mengenai Linux yang diperoleh dari bangku kuliah, tetapi ada juga yang memang mempelajarinya secara otodidak.

Lalu bagaimana dengan alasan no 3 dan 5 dalam paragraf awal?Untuk alasan 3, tidak sepenuhnya bisa diterima maupun tidak sepenuhnya bisa ditolak alasan itu. Memang tidak bisa dijamin 100% bahwa dokumen yang kita kreasi dari software di Linux dapat tampil sama persis ketika ditampilkan/di edit dengan software di W*n*o*s. Tetapi menurut saya, perbedaan atau perubahan yang muncul cukup kecil. Bagi saya yang pengguna Linux, tentunya juga merasa kerepotan jika ada orang yang mengirimkan dokumen W*rd, dan ternyata ketika saya buka dengan Libre Office masih harus dilakukan penyesuaian. Sama saja kan? sama2 berubahnya, baik dari Linux ke W*n*o*s, maupun dari W*n*o*s ke Linux.

Untuk alasan 5, memang diperlukan kebijaksanaan/regulasi dari kantor tempat dia bekerja untuk beralih dari W*n*o*s ke Linux. Saya yakin jika dibuat aturan agar semua pc di kantor hanya dipasangi Linux, tanpa boleh ada W*n*o*snya, maka semua pegawai di kantor tersebut akan menjadi bisa mengoperasikan Linux. Saya yakin tidak akan ada gelombang pengunduran diri besar2an dari para pegawai lantaran tidak mampu mengoperasikan Linux. Bagusnya, saya dengar dibeberapa departemen telah diterapkan kebijakan untuk menggunakan sistem operasi Linux. Program pemerintah yang sangat bagus ini seharusnya kita dukung agar pemerintah tidak perlu lagi dibebani dengan tanggungan untuk membayar lisensi atas penggunaan sistem operasi atau software yang berbayar.

Sebenarnya tidak ada yang salah jika menggunakan Sistem operasi atau software berbayar, asalkan sistem operasi atau software tersebut diperoleh dengan cara yang benar bukan dengan membajak. Terlalu membuang uang banyak jika sebuah instansi terpaksa harus membayar bermilyar-milyar rupiah untuk sekedar membayar lisensi sistem operasi atau software tertentu, sementara yang gratisan tersedia dengan mudah dan dapat di operasikan dengan mudah pula. Jika alasan 5 dapat diselesaikan, maka tentunya alasan 3 akan gugur dengan sendirinya.

-------------------------------------
"There are no Windows in my house".

0 komentar:

Posting Komentar